Jumat, 29 Mei 2015

Psikologi Agama dan Kesehatan Mental


BAB II
PEMBAHASAN
PSIKOLOGI AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

A.    Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba dalam Sururin adalah cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebahgai emosi yang bercorak khusus.[1] Sedangkan pengertian agama menurut Bouquet dalam Ahmadi adalah hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatural dan yang bersifat berbeda dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan absolute yang disebut Tuhan.[2]
Secara etimologi mental berasal dari bahasa latin yaitu mens atau Mentis artinya roh, jiwa, atau nyawa. Dalam bahasa yunani kesehatan mental terkandung dalam kata hygiene yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari ilmu jiwa. Ada yang berpendapat bahwa kesehatan mental adalah terhidar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.[3]
Orang yang sehat mentalnya memiliki hidup yang normal. Tindakan yang mereka lakukan dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu dalam karakter hidup terdapat kesesuaian dengan norma dan pola hidup masyarakat.[4] Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah terhidar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.[5]
Indikator kesehatan mental menurut al-Ghazali dalam Ramayulis didasarkan pada seluruh aspek kehidupan manusia baik hablumminallah, hablumminannas dan hablummin al-alam. Menurutnya ada tiga indikator untuk menentukan kesehatan mental seseorang yaitu:[6]
1.      Keseimbangan yang terus menerus antara jasmani dan rohani dalam kehidupan manusia.
2.      Memiliki kemuliaan akhlak dan kezakiyahan jiwa atau memiliki kualitas iman dan takwa yang tinggal.
3.      Memiliki ma’rifat tauhid kepada Allah.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat, bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
B.     Manusia dan Agama
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.[7]
Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidakberdayaannya  menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam pembahasannya, Skinner, salah seorang tokoh Behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan secara khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan kenyataan bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini pula Skinner melihat agama sebagai isme social yang lahir dari adanya factor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).[8]

C.    Hubungan Agama dan Kesehatan Mental
Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena factor-factor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya suli dilakukan, hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia.
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan.

Firman Allah SWT.
รณOร%r'sรน y7ygรด_ur รˆรปรฏรe$#ร9 $ZรฟรZym 4 |Ntรดรœรรน «!$# ร“ร‰L©9$# tsรœsรน }¨$¨Z9$# $pkรถŽn=tรฆ 4 Ÿw Ÿ@ƒรรถ7s? รˆ,รน=yรœร9 «!$# 4 šร9ยบsŒ รšรบรฏรe$!$# รžOรhŠs)รธ9$#  ร†ร…3»s9ur uŽsYรฒ2r& ร„¨$¨Z9$# Ÿw tbqรŸJn=รดรจtƒ ร‡รŒร‰รˆ  
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(Q.S. Ar-Rum/30: 30)[9]
 Ayat di atas menjelaskan sikap ikhlas dan tunduk kepada Islam sebagai agama Allah dan menjadikan kecenderungan untuk tunduk kepada agama yang benar, yaitu Islam. dan Allah menjadikan pada diri manusia untuk tunduk pada fitrah tauhid. dalam berbagai sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan manusia dengan agama.[10]
Berdasarkan ayat dan terjemahan di atas Omar Mohammad al-Toumy al-Syibany memberikan penafsiran:
Kepentingan beriman dan faedahnya tidak dinikmati oleh pribadi saja, tetapi juga masyarakat seluruhnya. Tidak dapat disangkal bahwa masyarakat yang rata-rata penduduknya kuat beriman kepada Allah kepada Allah lebih aman, stabil, bersatu, kuat dan maju. Masyarakat atau umat tanpa iman adalah umat yang lemah dan tidak berdaya. Masa depannya kabur dan tergugat, berbelit-belit dan tipu akan leluasa dikalangan anggotanya.[11]

Jadi hubungan agama dengan kesehatan mental adalah agama sebagai terapi kesehatan mental yang akan berpengaruh pada kesehatan pribadi dan masyarakat. Hal ini sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Firman Allah SWT.
รด`tB Ÿ@รJtรฃ $[sรŽ=»|¹ `รiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4ร“s\Rรฉ& uqรจdur ร–`รB÷sรฃB ¼รงm¨ZtรรณsรฃZn=sรน Zo4quym Zpt6รhŠsร› ( รณOรŸg¨YtƒรŒรดfuZs9ur Nรจdtรด_r& ร‡`|¡รดmr'รŽ/ $tB (#qรงR$Ÿ2 tbqรจ=yJ÷รจtƒ ร‡ร’รรˆ


Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahal/16: 97).[12]

Berdasarkan ayat dan terjemahan di atas Ahmad Mushthafa al-Maraghi menafsirkan:
Seseorang yang tidak bisa menjaga/memelihara nilai-nilai atau orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah, sehingga dia tidak beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka dia senantiasa berada dalam kesusahan dan kepayahan, kerena sungguh tamak untuk memperoleh berbagai kesenangan dunia. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka dia akan merasa sedih, gundah,  dan gelisah. Kemudian apabila suatu kesenangan dunia terlewat olehnya, maka dia akan bermuka masam dan hatinya diliputi oleh perasaan sedih karena dia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup ini dan menikamati kelezatan. Apabila tidak memperolehnya maka dia akan mengharamkan segala apa yang dia impikan. Dia memandang apa yang dikehendakinya itu sebagai puncak kebahagiaan dan kebaikan.[13]

Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan anatara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap sesuatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah serupa itu akan memberikan sikap optimis pada seseorang sehingga akan muncul perasaan yang sealalu bahagia dalam menjalani kehidupan.
Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin manpu ia menghadapi kekecewaan dan kesukuran-kesukaran dalam hidup. Dan demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.[14] Ini menunjukan bahwa agama terkait dengan ini pendekatan diri kepada Tuhan merupakan terapi yang tepat dalam menanggulangi masalah masalah kehidupan termasuk didalamnya hal-hal yang menyebabkan gangguan pada kesehatan mental.

D.    Kesehatan Mental dalam Al-Qur’an dan Hadits
Mental merupakan similar kata dari jiwa. Jiwa dalam islam dikenal dengan istilah an-Nafs. Dalam tradisi keilmuan islam kajian jiwa justru mendapat perhatian penting. Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena dimensi jiwa dalam islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik. Karena jiwa merupakan bagian metafisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh aktifitas manusia.
Kesimpulan tersebut selain berdasarkan analisis keilmuan tapi juga ada sumber yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Al-Qur’an memberikan apresiasi yang besar dalam kajian jiwa manusia. Hal ini dapat terlihat ada sekitar 279 kali al-Qur’an menyebutkan kata-kata jiwa (nafs).
Ada tiga pembagian nafsu, yiatu:
1.      Nafsu Amarah
Yaitu jiwa yang masih cenderung pada kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini tergolong pada tahap pertama yang tergolng sangat rendah, karena
2.      Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan manpu melihat kekurangan-kekurangan dirinya sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
3.      Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa yang tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu  yang sempurna berada dalam kebenaran dan kebajikan. Itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati Allah SWT.
Firman Allah SWT.
$pkรงJ­ƒr'¯»tƒ รŸ§รธรฟ¨Z9$# รจp¨Zร´yJรดรœรŸJรธ9$# ร‡ร‹รรˆ   รปร“ร‰รซร…_รถ$# 4n<รŽ) ร…7รŽn/u ZpuŠร…รŠ#u Zp¨Šร…รŠรณ£D ร‡ร‹ร‘รˆ   ร?รค{÷Š$$sรน รŽรป ร»t6รรฃ ร‡ร‹ร’รˆ   ร?รค{÷Š$#ur ร“ร‰L¨Zy_ ร‡รŒร‰รˆ  


Artinya: Hai jiwa yang tenang,  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.  Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,  masuklah ke dalam syurga-Ku. (Q.S. Al-Fajar/89: 27-30).[15]

Ibnu Jarir ath- Thabari memaknainya sebagai orang yang tentram dengan janji Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan di akhirat kemudia dia membenarkan janji itu.[16] Sedang Abu Hayyan al-Andalusi menafsiran al-Muthma’innah dengan al-Aminah (orang yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran atau tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[17] Jadi, mental yang sehat dalam islam adalah an-nafsul al-Muthmainnah.
Rasulullah SAW merupakan pribadi manusia sempurna. Beliau adalah manusia yang memiliki perilaku sempurna dan berakhlak terpuji. Seluruh akhlaknya merupakan cerminan al-quran. Rasulullah SAW merupakan prototipe manusia yang memiliki an-nafs mutmainnah ideal yang mencerminkan semua indikator kesehatan jiwa pada tingkat yang tertinggi.
Rasulullah SAW. Bersabda:
ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…: ู„ุง ูŠุคู…ู† ุงุญุฏูƒู… ุญุชู‰ ูŠูƒูˆู† ู‡ูˆุงู‡ ุชุจุนุง ู„ู…ุง ุฌุฆุช ุจู‡.
Artinya: Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa” .
Rasulullah SAW. Juga memberi petunjuk kepada hati ketika nafsu mutmainnah dan amarah bi su’ saling berebut pengaruh:
ุนู† ูˆุงุจุตุฉ ุจู† ู…ุนุจุฏ ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู‚ุงู„ ุฃุชูŠุช ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุต.ู… ูู‚ุงู„ ุฌุฆุช ุชุณุฃู„ ุนู† ุงู„ุจุฑ ؟ ู‚ู„ุช ู†ุนู…. ู‚ุงู„ ุงุณุชูุช ู‚ู„ุจูƒ ุงู„ุจุฑ ู…ุงุงุทู…ุฃู†ุช ุงู„ูŠู‡ ุงู„ู†ูุณ ูˆุงุทู…ุฃู† ุงู„ูŠู‡ ุงู„ู‚ู„ุจ. ูˆู„ุฅุซู… ู…ุงุญุงูƒ ููŠ ุงู„ู†ูุณ ูˆุชุฑุฏุฏ ููŠ ุงู„ุตุฏุฑ ูˆุฅู† ุงูุชุงูƒ ุงู„ู†ุงุณ ูˆุฃูุชูˆูƒ
Artinya: “Wabishah bin Ma’bad r.a berkata: Aku mendatangi Rasulullah SAW, lalau beliau bertanya: “Engkau datang hendak menanyakan tentang kebaikan?”. Aku menjawab: “Ya!”. Nabi bersabda: “Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan adalah apa-apa yang jiwa/nafsu dan hatimu merasa aman dan tentram. Sedangkan dosa adalah apa-apa yang menimbulkan keraguan dalam jiwa/nafsu dan hatimu meski kau meminta pendapat atau diberi pendapat oleh orang lain”. (HR. Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi).
Dari hadis di atas tergambar bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang selalu berbuat sesuai petunjuk Allah SWT, dan terhidanr dari segala perbuatan dosa.
E.     Berbagai Aliran Dalam Kesehatan Mental
Diantara aliran-aliran tersebut yang terkenal adalah sebagai berikut :
1.      Aliran Psikoanalitik
Aliran ini dikenal dengan tokoh yang mempeloporinya yaitu Sigmund Freud dengan pandangan bahwa manusia adalah produk evulusi yang terjadi secara kebetulan dan merupakan makhluk biologis. Psiko-analisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi yang mencari akar tingkah laku manusia didalam dorongan dan konflik yang tidak di sadari. Freud selanjutnya memandang bahwa tingkah laku manusia itu terjadi karena terdapat nya interaksi antara tiga alat dalam personaliti, yang disebut dengan Id, Ego dan Super Ego.
Psikoanalitik memandang bahwa kesehatan mental itu akan diperoleh apabila Ego mencapai kemenangan dalam pertarungan yang terjadi antara ketiganya. Namun tampaknya hasil (kesehatan mental) yang ia peroleh itu, bukanlah hasil yang sebenarnya, melainkan hasil yang semu. Sebab di balik keberhasilan itu pertarungan-pertarungan diantara ketiganya akan terus berlangsung. Ego hampir saja selalu bersebrangan dengan Id. Kemudian datang Super Ego yang mencoba melerai keduanya, yang pada dasarnya semakin memperluas arena pertarungan.
Dengan demikian,maka manusia adalah makhluk yang penuh dengan sikap pesimis dan tidak akan memeperoleh kesehatan mental yang sebenar-benarnya. Para penganutnya pesimis akan dapat mencapai kesehatan mental yang sempurna karena didalam dirinya selalu terjadi pertentangan sebagai frame atau kodrat hidup manusia.
2.      Aliran Behavioristik
Aliran ini di pelopori oleh Thorndike dan John B. Watson. Aliran ini menitik-beratkan kepada tingkah laku manusia. Meraka memandang manusia ibaratkan mesin. Aliran ini berpendapat bahwa kesehatan mental adalah kesanggupan seseorang untuk memperoleh kebiasaan yang sesuai dan dinamik yang dapat menolongnya berintegrasi dengan lingkungan, dan menghadapi suasana-suasana yang memerlukan pengambilan keputusan. Dengan kata lain, orang yang sehat mentalnya adlah orng yang ber-adjusment secara baik dan dinamis dengan lingkungan di mana ia berada.
Aliran ini mendapat kritikan karena menganggap manusia itu sebagai makhluk hedonis yang mempunyai motif tunggal untuk menyesuaikan diri (adjusment) dengan lingkungan fisik dan sosial. Di samping itu aliran ini mengabaikan aspek spiritual manusia dan mementingkan aspek biologis saja.
3.      Aliran Humanistik
Aliran ini di pelopori Abraham Maslow. Aliran ini berpendapat bahwa pengkajian terhadap manusia harus di dekati dari sudut kemanusiaannya. Manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang bebas di pergunakan menurut kemauannya. Oleh karena itu kesehatan mental, menurut aliran ini, adalah kesadaran manusia terhadap potensi-potensinya dan kebebasannya untuk mencapai apa yang ia kehendaki dengan cara yang di pilihnya. Dengan kata lain, bahwa orng yang sehat mentalnya menurut aliran ini adalah orang sadar akan potensi yang dimilikinya, kemudian secara bebas ia dapat mengembangkan sesuai dengan kehendak nya.
4.      Aliran Psikologi Transpersonal
Aliran ini merupakan kelanjutan dari aliran humanistik, jadi penggagasnya termsuk juga Jung, Abraham Maslow, Victor Frankl, William James yang banyak mempengaruhi pikiran Jung.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah “ peak experience, plateu dan father reaches of human nature”. Dalam arti kata psikologi belum sempurna sebelum di fokuskan kembali pada pandangan spiritual agama. Dalm hal ini psikologi tranpersonal berusaha menggabungkan tradisi-tradisi agama besar timur. Nmaun, aliran ini tidak menyebutkan secara spesifik agama-agama besar timur itu sehingga menimbulkan keraguan.
5.      Pandangan Islam
Pandangan islam tentang manusia dan kesehatan mental, berbeda dengan aliran-aliran di atas. manusia dalam pandangan islam diciptakan oleh Allah dengan tujuan-tujuan tertentu :
a.     Menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang tugasnya mengabdi kepada Allah SWT.
b.    Menjadi khalifah Allah fi al-ardh yang tugasnya mengolah alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk dalam rangka ubudiyah kepad-Nya.
Agar tujuan tersebut dapat di capai, manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang harus di kembangkan dan di manfaatkan sesuai dengan aturan Allah.
Menurut pandangan pandangan islam orang yang sehat mentalnya ialah orang yang berprilaku, fikiran, dan perasaan nya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran islam. Ini berarti, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku perasaan, pikirannya dan jiwa keber-agamaan nya. Dengan demikian tampaknya sulit di ciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap islam sangat berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting islam dalam membina kesehatan mental.

F.     Cara Memelihara Kesehatan Mental Menurut Islam
Dalam literatur yang berkembang ada beberapa cara untuk memelihara kesehatan mental dalam Islam salah satunya adalah pola atau metode Iman Islam Dan Ihsan yang didalamnya terdapat berbagai macam karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.[18]
1.      Iman
Didalam metode iman terdapat beberapa macam pola karakter.
a.       Karakter rabbani yang berasal dari kata rabb  yang dalam bahasa Indonesia berarti tuhan, yaitu tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur. Istilah rabbani dalam konteks ini memiliki ekuivalensi dengan  mentransformasikan asma dan sifat tuhan kedalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
b.      Karakter malaki adalah kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan sifat-sifat malaikat kedalam dirinya untuk kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan nyata.
c.       Karakter Qurani yang pada intinya kepribadian qurani adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai al-Qur`an baik pada dimensi I`tiqadiyah, Khulukqiyah, amaliyah, ibadah, muamalah, daruriyyah, hajiyyah, ataupun tahsiniyah,
d.      Karakter rasuli yang. mengarah pada sifat-sifat khas seorang rasul sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur, Terpercaya, Menyampaikan perintah dan cerdas.
e.       Karakter yawm akhiri adalah kepribadian individu yang didapat sesudah mengimani, mamhami dan mempersiapkan diri untuk memasuki hari akhir dimana seluruh perilaku manusia dimintai pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan mendapatkan kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk akan mendapatkan kesengsaraan neraka.
f.       Karakter taqdiri,  Pola-pola tingkah laku taqdiri antara lain; pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan, sehingga tidak semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua, membangun jiwa optimis dalam mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak sombong ketika mendapatkan kesuksesan hidup. Tidak pesimis, stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
2.      Islam
Didalam metode Islam terdapat beberapa macam pola karakter.
a.       Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta menyadari akan segala konsekwensi persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domanin kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekwensi dari persaksiannya itu.
b.      Karakter mushalli adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib, dan khusyu, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
c.       Karakter shaim adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
d.      Karakter muzakki adalah pribadi yang suci, fitrah dan tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang seimbang, mampu menyelaraskan antara aktifitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Ia adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi lain.
e.       arakter haji adalah orang yang telah melakukan ibadah haji yang secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya selalu tertuju pada yang maha tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa kepribadian antara lain : kepribadian muhrim, kepribadian thawif, kepribadian waqif, kepribadian sa`i, kepribadian mutahalli dan lain sebagainya.
3.      Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relative dan temporal, maka criteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena itu hadits Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada peribadatan  dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan diri pada-Nya seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma`iyyah) dengan-Nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba dihadapan tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu. Baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesehatan Mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.
Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena factor-factor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya suli dilakukan, hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan hidup yang beragam. Namun demikian, keberagaman itu dikelompokkan menjadi dua bagian yang mendasar. Pertama, kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan pelestarian jenis (spesies). Kedua, kebutuhan untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Dua kebutuhan pokok inilah yang mendorong atau memotivasi manusia melakukan aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.

B.     Saran
Peranan agama dalam kehidupan manusia sangat besar. Untuk menjaga keseimbangan lahir dan batin, manusia sangat memerlukan agama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan ini. Apalagi jika kita mengalami goncangan batin, hati yang tidak tenang, maka keyakinan agamalah yang bisa mengembalikan ketenangan batin kita dengan senantiasa mengingat Allah. Marilah kita mempertebal iman kita supaya kita dapat menjalani kehidupan ini dengan tenang penuh syukur.
Setiap satuan pendidikan seharusnya memberdayakan program-program pengembangan diri, bimbingan konseling, dan sejenisnya sebagai media yang sangat efektif di sekolah untuk pembinaan potensi peserta didik sesuai minat-bakat dan berfungsi efektif bagi pencegahan dini sekaligus tindakan terhadap penyimpangan, gangguan/sakit mental yang dialami peserta didik. Pendidikan budaya dan karakter seharusnya diintegrasikan dalam seluruh proses pembelajaran di kelas dan lingkungan sekolah secara konsisten untuk menjamin kesehatan mental siswa.

























DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2005.  Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta Media
Ahmadi, Abu. 1994. Sejarah Agama. Solo: CV. Ramadhani
Al-Andalusi, Abu Hayyan. 1420 H.  al-Bahr al-Muhith fi Tafsi. vol. 10. Beirut: Dar al-Fikr 
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1984.  Tafsir al- Maraghi. Bierut: Dar Ihya’ at- Turats al-‘Arabiy
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Taumy. 1979.  Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langulung . Jakarta: Bulan Bintang
Ath-Thabari. 1420 H. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. vol. 24. Beirut: Dar al-Fikr
Burhanuddin, Yusak. 1998. Kesehatan Mental. Bandung: Pustaka Setia
Daradjat,  Zakiah. 1978. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung
Daradjat, Zakiah.  2001. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Toko Gunung Agung
Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Mujib, Abdul. 2002. Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa
Ramayulis. 2013. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 4
[2]Abu Ahmadi, Sejarah Agama, (Solo: CV. Ramadhani, 1994), h.14
[3]Yusak Burhanuddin,  Kesehatan Mental, ( Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 9
[4]Ibid., h. 142
[5] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2001), h. 1
[6]Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), h.164
[7]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), h. 149-151
[8] Ibid., h. 149-151
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,2005),  h. 401
[10]Sururin, Op.Cit., h. 4
[11]Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibany,  Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langulung  (Jakarta: Bulan Bintang,1979), h. 182
[12] Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 278
[13] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi, (Bierut: Dar Ihya’ at- Turats al-‘Arabiy,1984) h. 250-251
[14] Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), h. 78-79
[15]Depertemen Agama RI, Op.Cit., h. 593
[16] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, vol. 24 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), h. 423
[17]Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi Tafsir, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), h.476  
[18]Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002), h. 149