BAB
II
PEMBAHASAN
PSIKOLOGI
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
A.
Pengertian Agama dan
Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba dalam Sururin adalah cara bertingkah
laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebahgai emosi yang bercorak khusus.[1] Sedangkan
pengertian agama menurut Bouquet dalam Ahmadi adalah hubungan yang tetap antara
diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatural dan
yang bersifat berbeda dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan absolute
yang disebut Tuhan.[2]
Secara etimologi mental berasal dari bahasa latin yaitu mens atau Mentis
artinya roh, jiwa, atau nyawa. Dalam bahasa yunani kesehatan mental
terkandung dalam kata hygiene yang berarti ilmu kesehatan. Maka
kesehatan mental merupakan bagian dari ilmu jiwa. Ada yang berpendapat bahwa
kesehatan mental adalah terhidar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.[3]
Orang yang sehat mentalnya memiliki hidup yang normal. Tindakan yang mereka
lakukan dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu dalam karakter hidup
terdapat kesesuaian dengan norma dan pola hidup masyarakat.[4]
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah terhidar seseorang
dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian
fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga,
berguna dan bahagia serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal
mungkin.[5]
Indikator
kesehatan mental menurut al-Ghazali dalam Ramayulis didasarkan pada seluruh aspek
kehidupan manusia baik hablumminallah,
hablumminannas dan hablummin al-alam. Menurutnya ada tiga indikator untuk menentukan kesehatan
mental seseorang yaitu:[6]
1. Keseimbangan yang terus menerus
antara jasmani dan rohani dalam kehidupan manusia.
2. Memiliki kemuliaan akhlak dan
kezakiyahan jiwa atau memiliki kualitas iman dan takwa yang tinggal.
3. Memiliki ma’rifat tauhid kepada
Allah.
Dari beberapa defenisi
yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa orang yang sehat
mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya
kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan
kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat,
bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang
dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
B.
Manusia dan
Agama
Psikologi
modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun
pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris.
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli
psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.[7]
Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama
sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya
dengan gejala-gejala psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku
manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam
bentuk tasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia.
Manusia lari kepada agama karena rasa ketidakberdayaannya menghadapi
bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan
manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat
memberikan rasa aman.
Lain halnya
dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam pembahasannya, Skinner,
salah seorang tokoh Behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan secara
khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari
keterkaitannya dengan kenyataan bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan
masyarakat. Dalam hubungan ini pula Skinner melihat agama sebagai isme social
yang lahir dari adanya factor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi
factor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Sejalan dengan
prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir
karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan
dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang
kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah
perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu
ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme
erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment).
Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah.
Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala).[8]
C.
Hubungan Agama
dan Kesehatan Mental
Agama
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap
agama mungkin karena factor-factor tertentu baik yang disebabkan oleh
kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau
meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya suli dilakukan,
hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk
tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor
intern manusia.
Fitrah manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka
tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan.
Firman Allah SWT.
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.(Q.S. Ar-Rum/30: 30)[9]
Ayat di atas menjelaskan sikap ikhlas dan
tunduk kepada Islam sebagai agama Allah dan menjadikan kecenderungan untuk
tunduk kepada agama yang benar, yaitu Islam. dan Allah menjadikan pada diri
manusia untuk tunduk pada fitrah tauhid. dalam berbagai sumber, psikologi agama
menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan manusia dengan agama.[10]
Berdasarkan ayat dan
terjemahan di atas Omar Mohammad al-Toumy al-Syibany memberikan penafsiran:
Kepentingan beriman dan faedahnya tidak dinikmati oleh pribadi saja, tetapi
juga masyarakat seluruhnya. Tidak dapat disangkal bahwa masyarakat yang
rata-rata penduduknya kuat beriman kepada Allah kepada Allah lebih aman,
stabil, bersatu, kuat dan maju. Masyarakat atau umat tanpa iman adalah umat
yang lemah dan tidak berdaya. Masa depannya kabur dan tergugat, berbelit-belit dan
tipu akan leluasa dikalangan anggotanya.[11]
Jadi
hubungan agama dengan kesehatan mental adalah agama sebagai
terapi kesehatan mental yang akan berpengaruh
pada kesehatan pribadi dan masyarakat. Hal ini sudah ditunjukkan secara jelas dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Firman Allah SWT.
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. (Q.S. An-Nahal/16: 97).[12]
Berdasarkan ayat dan terjemahan di atas Ahmad
Mushthafa al-Maraghi menafsirkan:
Seseorang yang tidak bisa menjaga/memelihara
nilai-nilai atau orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah, sehingga dia
tidak beriman dan mengerjakan amal sholeh, maka dia senantiasa berada dalam
kesusahan dan kepayahan, kerena sungguh tamak untuk memperoleh berbagai
kesenangan dunia. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka dia akan
merasa sedih, gundah, dan gelisah.
Kemudian apabila suatu kesenangan dunia terlewat olehnya, maka dia akan bermuka
masam dan hatinya diliputi oleh perasaan sedih karena dia mengira bahwa puncak
kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup ini dan menikamati kelezatan.
Apabila tidak memperolehnya maka dia akan mengharamkan segala apa yang dia
impikan. Dia memandang apa yang dikehendakinya itu sebagai puncak kebahagiaan
dan kebaikan.[13]
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam
kaitannya dengan hubungan anatara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa,
terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap sesuatu kekuasaan Yang
Maha Tinggi. Sikap pasrah serupa itu akan memberikan sikap optimis pada
seseorang sehingga akan muncul perasaan yang sealalu bahagia dalam menjalani
kehidupan.
Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, dan
semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin
manpu ia menghadapi kekecewaan dan kesukuran-kesukaran dalam hidup. Dan
demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama, akan semakin
susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin.[14]
Ini menunjukan bahwa agama terkait dengan ini pendekatan diri kepada Tuhan
merupakan terapi yang tepat dalam menanggulangi masalah masalah kehidupan
termasuk didalamnya hal-hal yang menyebabkan gangguan pada kesehatan mental.
D.
Kesehatan
Mental dalam Al-Qur’an dan Hadits
Mental merupakan similar kata dari jiwa. Jiwa dalam islam dikenal dengan
istilah an-Nafs. Dalam tradisi keilmuan islam kajian jiwa justru
mendapat perhatian penting. Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim
ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu
diketahui oleh seorang manusia. Karena dimensi jiwa dalam islam lebih tinggi
dari sekedar dimensi fisik. Karena jiwa merupakan bagian metafisika. Ia
merupakan penggerak dari seluruh aktifitas manusia.
Kesimpulan tersebut selain berdasarkan analisis keilmuan tapi juga ada
sumber yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Al-Qur’an memberikan apresiasi
yang besar dalam kajian jiwa manusia. Hal ini dapat terlihat ada sekitar 279
kali al-Qur’an menyebutkan kata-kata jiwa (nafs).
Ada tiga pembagian nafsu, yiatu:
1. Nafsu Amarah
Yaitu jiwa yang masih cenderung pada kesenangan yang bersifat duniawi.
Nafsu ini tergolong pada tahap pertama yang tergolng sangat rendah, karena
2. Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan manpu melihat kekurangan-kekurangan dirinya
sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang
mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
3. Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa yang tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap
tertinggi, nafsu yang sempurna berada
dalam kebenaran dan kebajikan. Itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati Allah
SWT.
Firman Allah SWT.
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ
Artinya: Hai jiwa yang tenang,
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam
syurga-Ku. (Q.S. Al-Fajar/89: 27-30).[15]
Ibnu Jarir ath- Thabari memaknainya sebagai orang yang tentram dengan janji
Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan di
akhirat kemudia dia membenarkan janji itu.[16] Sedang
Abu Hayyan al-Andalusi menafsiran al-Muthma’innah dengan al-Aminah (orang
yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran atau
tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[17] Jadi,
mental yang sehat dalam islam adalah an-nafsul al-Muthmainnah.
Rasulullah
SAW merupakan pribadi manusia sempurna. Beliau adalah manusia yang memiliki
perilaku sempurna dan berakhlak terpuji. Seluruh akhlaknya merupakan cerminan
al-quran. Rasulullah SAW merupakan prototipe manusia yang memiliki an-nafs
mutmainnah ideal yang mencerminkan semua indikator kesehatan jiwa pada tingkat
yang tertinggi.
Rasulullah SAW. Bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يؤمن
احدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به.
Artinya: Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara
kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa” .
Rasulullah SAW.
Juga memberi petunjuk kepada hati ketika nafsu mutmainnah dan amarah bi su’
saling berebut pengaruh:
عن وابصة بن معبد رضى الله عنه قال أتيت رسول الله ص.م فقال جئت تسأل عن البر ؟
قلت نعم. قال استفت قلبك البر مااطمأنت اليه النفس واطمأن اليه القلب. ولإثم ماحاك
في النفس وتردد في الصدر وإن افتاك الناس وأفتوك
Artinya: “Wabishah bin Ma’bad r.a berkata:
Aku mendatangi Rasulullah SAW, lalau beliau bertanya: “Engkau datang hendak
menanyakan tentang kebaikan?”. Aku menjawab: “Ya!”. Nabi bersabda: “Mintalah
fatwa pada hatimu. Kebaikan adalah apa-apa yang jiwa/nafsu dan hatimu merasa
aman dan tentram. Sedangkan dosa adalah apa-apa yang menimbulkan keraguan dalam
jiwa/nafsu dan hatimu meski kau meminta pendapat atau diberi pendapat oleh
orang lain”. (HR. Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi).
Dari hadis di atas tergambar bahwa orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang selalu berbuat sesuai petunjuk Allah SWT, dan
terhidanr dari segala perbuatan dosa.
E.
Berbagai Aliran Dalam Kesehatan Mental
Diantara
aliran-aliran tersebut yang terkenal adalah sebagai berikut :
1. Aliran Psikoanalitik
Aliran ini dikenal dengan tokoh yang mempeloporinya yaitu Sigmund
Freud dengan pandangan bahwa manusia adalah produk evulusi yang terjadi secara
kebetulan dan merupakan makhluk biologis. Psiko-analisis merupakan satu sistem
dinamis dari psikologi yang mencari akar tingkah laku manusia didalam dorongan
dan konflik yang tidak di sadari. Freud selanjutnya memandang bahwa tingkah
laku manusia itu terjadi karena terdapat nya interaksi antara tiga alat dalam
personaliti, yang disebut dengan Id, Ego dan Super Ego.
Psikoanalitik
memandang bahwa kesehatan mental itu akan diperoleh apabila Ego mencapai
kemenangan dalam pertarungan yang terjadi antara ketiganya. Namun tampaknya
hasil (kesehatan mental) yang ia peroleh itu, bukanlah hasil yang sebenarnya,
melainkan hasil yang semu. Sebab di balik keberhasilan itu
pertarungan-pertarungan diantara ketiganya akan terus berlangsung. Ego hampir
saja selalu bersebrangan dengan Id. Kemudian datang Super Ego yang mencoba
melerai keduanya, yang pada dasarnya semakin memperluas arena pertarungan.
Dengan
demikian,maka manusia adalah makhluk yang penuh dengan sikap pesimis dan tidak
akan memeperoleh kesehatan mental yang sebenar-benarnya. Para penganutnya
pesimis akan dapat mencapai kesehatan mental yang sempurna karena didalam
dirinya selalu terjadi pertentangan sebagai frame atau kodrat hidup manusia.
2.
Aliran
Behavioristik
Aliran
ini di pelopori oleh Thorndike dan John B. Watson. Aliran ini menitik-beratkan
kepada tingkah laku manusia. Meraka memandang manusia ibaratkan mesin. Aliran
ini berpendapat bahwa kesehatan mental adalah kesanggupan seseorang untuk
memperoleh kebiasaan yang sesuai dan dinamik yang dapat menolongnya
berintegrasi dengan lingkungan, dan menghadapi suasana-suasana yang memerlukan
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, orang yang sehat mentalnya adlah orng
yang ber-adjusment secara baik dan dinamis dengan lingkungan di mana ia berada.
Aliran
ini mendapat kritikan karena menganggap manusia itu sebagai makhluk hedonis
yang mempunyai motif tunggal untuk menyesuaikan diri (adjusment) dengan
lingkungan fisik dan sosial. Di samping itu aliran ini mengabaikan aspek
spiritual manusia dan mementingkan aspek biologis saja.
3.
Aliran
Humanistik
Aliran
ini di pelopori Abraham Maslow. Aliran ini berpendapat bahwa pengkajian
terhadap manusia harus di dekati dari sudut kemanusiaannya. Manusia dilengkapi
dengan berbagai potensi yang bebas di pergunakan menurut kemauannya. Oleh
karena itu kesehatan mental, menurut aliran ini, adalah kesadaran manusia
terhadap potensi-potensinya dan kebebasannya untuk mencapai apa yang ia
kehendaki dengan cara yang di pilihnya. Dengan kata lain, bahwa orng yang sehat
mentalnya menurut aliran ini adalah orang sadar akan potensi yang dimilikinya,
kemudian secara bebas ia dapat mengembangkan sesuai dengan kehendak nya.
4.
Aliran
Psikologi Transpersonal
Aliran
ini merupakan kelanjutan dari aliran humanistik, jadi penggagasnya termsuk juga
Jung, Abraham Maslow, Victor Frankl, William James yang banyak mempengaruhi
pikiran Jung.
Menurut
Maslow pengalaman keagamaan adalah “ peak experience, plateu dan father reaches
of human nature”. Dalam arti kata psikologi belum sempurna sebelum di fokuskan
kembali pada pandangan spiritual agama. Dalm hal ini psikologi tranpersonal
berusaha menggabungkan tradisi-tradisi agama besar timur. Nmaun, aliran ini
tidak menyebutkan secara spesifik agama-agama besar timur itu sehingga
menimbulkan keraguan.
5.
Pandangan
Islam
Pandangan
islam tentang manusia dan kesehatan mental, berbeda dengan aliran-aliran di
atas. manusia dalam pandangan islam diciptakan oleh Allah dengan tujuan-tujuan
tertentu :
a. Menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang tugasnya mengabdi kepada
Allah SWT.
b. Menjadi khalifah Allah fi al-ardh yang tugasnya mengolah alam dan
memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk dalam rangka ubudiyah kepad-Nya.
Agar
tujuan tersebut dapat di capai, manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang
harus di kembangkan dan di manfaatkan sesuai dengan aturan Allah.
Menurut pandangan pandangan islam orang yang sehat mentalnya ialah orang yang berprilaku, fikiran, dan perasaan nya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran islam. Ini berarti, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku perasaan, pikirannya dan jiwa keber-agamaan nya. Dengan demikian tampaknya sulit di ciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap islam sangat berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting islam dalam membina kesehatan mental.
Menurut pandangan pandangan islam orang yang sehat mentalnya ialah orang yang berprilaku, fikiran, dan perasaan nya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran islam. Ini berarti, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku perasaan, pikirannya dan jiwa keber-agamaan nya. Dengan demikian tampaknya sulit di ciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap islam sangat berperan dalam membebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting islam dalam membina kesehatan mental.
F. Cara Memelihara
Kesehatan Mental Menurut Islam
Dalam
literatur yang berkembang ada beberapa cara untuk memelihara kesehatan mental
dalam Islam salah satunya adalah pola atau metode Iman Islam Dan Ihsan yang
didalamnya terdapat berbagai macam karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.[18]
1. Iman
Didalam
metode iman terdapat beberapa macam pola karakter.
a. Karakter rabbani yang berasal dari kata
rabb yang dalam bahasa Indonesia berarti
tuhan, yaitu tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur. Istilah rabbani dalam
konteks ini memiliki ekuivalensi dengan mentransformasikan asma dan sifat tuhan
kedalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
b. Karakter malaki adalah kepribadian individu
yang didapat setelah mentransformasikan sifat-sifat malaikat kedalam dirinya
untuk kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan nyata.
c. Karakter Qurani yang pada intinya kepribadian qurani adalah kepribadian yang
melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai al-Qur`an baik pada dimensi I`tiqadiyah,
Khulukqiyah, amaliyah, ibadah, muamalah, daruriyyah, hajiyyah, ataupun
tahsiniyah,
d.
Karakter rasuli yang. mengarah pada sifat-sifat khas seorang rasul
sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur, Terpercaya,
Menyampaikan perintah dan cerdas.
e. Karakter yawm akhiri adalah kepribadian individu yang
didapat sesudah mengimani, mamhami dan mempersiapkan diri untuk memasuki hari
akhir dimana seluruh perilaku manusia dimintai pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu
konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan mendapatkan
kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk akan mendapatkan
kesengsaraan neraka.
f. Karakter taqdiri, Pola-pola tingkah laku taqdiri antara lain;
pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan, sehingga tidak
semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua, membangun jiwa optimis dalam
mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak sombong ketika mendapatkan kesuksesan
hidup. Tidak pesimis, stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
2. Islam
Didalam
metode Islam terdapat beberapa macam pola karakter.
a. Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta
menyadari akan segala konsekwensi persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domanin
kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif dengan
kesadaran hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala
perbuatan sebagai konsekwensi dari persaksiannya itu.
b.
Karakter mushalli adalah kepribadian individu yang didapat setelah
melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib, dan khusyu, sehingga ia
mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
c. Karakter shaim adalah kepribadian individu yang
didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan,
sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan
pada asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan
puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang
yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
d. Karakter muzakki adalah pribadi yang suci,
fitrah dan tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang seimbang, mampu
menyelaraskan antara aktifitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Ia
adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi lain.
e. arakter haji adalah orang yang telah melakukan
ibadah haji yang secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu yang
diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya selalu tertuju pada yang maha
tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa kepribadian antara lain :
kepribadian muhrim, kepribadian thawif, kepribadian waqif, kepribadian sa`i,
kepribadian mutahalli dan lain sebagainya.
3. Ihsan
Kata
ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku
yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku
yang ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relative dan
temporal, maka criteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena
itu hadits Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada
peribadatan dan muwajahah, dimana ketika
sang hamba mengabdikan diri pada-Nya seakan-akan bertatap muka dan hidup
bersama (ma`iyyah) dengan-Nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik dan
bagus. Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan majikannya, apalagi sang
hamba dihadapan tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian
muhsin adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu.
Baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan yang
diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesehatan
Mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu
menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada
konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat
menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.
Agama
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap
agama mungkin karena factor-factor tertentu baik yang disebabkan oleh
kepribadian maupun lingkungan masing-masing, namun untuk menutupi atau
meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya suli dilakukan,
hal ini karena manusia memiliki unsur batin yang cendrung mendorongnya untuk
tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor
intern manusia.
Pada
dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan hidup yang beragam. Namun demikian,
keberagaman itu dikelompokkan menjadi dua bagian yang mendasar. Pertama,
kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan pelestarian jenis (spesies). Kedua,
kebutuhan untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Dua kebutuhan
pokok inilah yang mendorong atau memotivasi manusia melakukan aktifitasnya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.
B.
Saran
Peranan
agama dalam kehidupan manusia sangat besar. Untuk menjaga keseimbangan lahir
dan batin, manusia sangat memerlukan agama sebagai pedoman dalam menjalani
kehidupan ini. Apalagi jika kita mengalami goncangan batin, hati yang tidak
tenang, maka keyakinan agamalah yang bisa mengembalikan ketenangan batin kita
dengan senantiasa mengingat Allah. Marilah kita mempertebal iman kita supaya
kita dapat menjalani kehidupan ini dengan tenang penuh syukur.
Setiap
satuan pendidikan seharusnya memberdayakan program-program pengembangan diri,
bimbingan konseling, dan sejenisnya sebagai media yang sangat efektif di
sekolah untuk pembinaan potensi peserta didik sesuai minat-bakat dan berfungsi
efektif bagi pencegahan dini sekaligus tindakan terhadap penyimpangan,
gangguan/sakit mental yang dialami peserta didik. Pendidikan budaya dan
karakter seharusnya diintegrasikan dalam seluruh proses pembelajaran di kelas
dan lingkungan sekolah secara konsisten untuk menjamin kesehatan mental siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
PT. Syamil Cipta Media
Ahmadi, Abu. 1994. Sejarah Agama. Solo:
CV. Ramadhani
Al-Andalusi, Abu Hayyan. 1420 H. al-Bahr al-Muhith fi Tafsi. vol. 10.
Beirut: Dar al-Fikr
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1984. Tafsir al- Maraghi. Bierut: Dar Ihya’
at- Turats al-‘Arabiy
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Taumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langulung . Jakarta: Bulan Bintang
Ath-Thabari. 1420 H. Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil al-Qur’an. vol. 24. Beirut: Dar al-Fikr
Burhanuddin, Yusak. 1998. Kesehatan Mental.
Bandung: Pustaka Setia
Daradjat,
Zakiah. 1978. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta:
Gunung Agung
Daradjat, Zakiah. 2001. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta:
Toko Gunung Agung
Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Grafindo
Persada
Mujib, Abdul. 2002. Kepribadian Dalam
Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa
Ramayulis. 2013. Psikologi Agama. Jakarta:
Kalam Mulia
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
[11]Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibany, Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langulung (Jakarta: Bulan Bintang,1979), h. 182
[12] Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 278
[13] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi, (Bierut: Dar Ihya’
at- Turats al-‘Arabiy,1984) h. 250-251
[17]Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi Tafsir, vol. 10
(Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), h.476
Tidak ada komentar:
Posting Komentar