POSISI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
KURIKULUM 2013
Dalam kurikulum sebelumnya (KTSP) posisi dan arah layanan
bimbingan dan konseling di sekolah mengalami kemunduran karena adanya kerancuan
pemahaman tentang ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi
pelajaran sebagai konteks layanan keahiannya, dengan ekspektasi kinerja guru
yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya.
Sebagaimana telah dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan
konseling disekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan
dalam jalur pendidikan formal dan layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik
yang disebut sebagai konselor namun ekspektasi kinerja profesionalnya berbeda
dengan ekspsktasi kinerja professional yang dilakukan oleh guru. Jika
ekspektasi kinerja guru menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan
keahliannya maka ekspektasi kinerja konselor tidak demikian.
Ekspektasi kinerja konselor tidak meggunakan materi
pelajaran dalam koteks layanan keahliannya (bimbingan dan konseling) melainkan
menggunakan proses pengenalan diri konseli (peserta didik) dengan
memperhadapkan kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang
terdapat dalam ligkungannya, untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam
mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu
memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai
hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan
umum.
Pemahaman yang rancu terhadap ekspektasi kinerja konselor
tersebut, megakibatkan mutu layanan bimbingan dan konseling mengalami
kemunduran, sehigga kerancuan tersebut jelas-jelas telah mencedrai integritas
layaan bimbingan dan konseling karena layanan ahli yang dilaksanakan oleh konselor
ditarik ke wilayah layanan ahli keguruan dan diganti dengan ‘pengembangan diri’
yang maknanya direduksi sebagai pengembangan bakat dan minat siswa, dimana
bimbingan da konseling diposisikan sebagai bagian dari kegiatan
ekstrakurikuler. Selain itu guru mata pelajaran dinapikan peranannya dalam
proses ‘pengembangan diri’ itu.
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan
sistematik dalam memfasilitasi peserta didik mencapai tingkat
perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan
lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam
lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan,
yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan perkembangan melalui
interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan
tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi
dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk
mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku.
Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan
formal di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, ketika
diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.” Bimbingan dan Penyuluhan pada waktu
itu dipandang sebagai unsur pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia. Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun 1975, pelayanan bimbingan
dan penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral dari keseluruhan
upaya pendidikan. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan
Bimbingan dan konseling disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).
Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal
seperti tertera pada Gambar 1, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan
konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dengan demikian,
posisi guru pembimbing sejajar dengan guru bidang studi dan administrator
Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendiknas No. 22/2006
menempatkan pelayanan bimbingan dan konseling sebagai bagian integral
dari standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP
berubah menjadi Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat
dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun
1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnyaserta Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk
Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara
lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan pepelayanan bimbingan
dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di
SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung hal-hal yang
berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, namun tugas itu dinyatakan
sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak
secara eksplisit dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat
dipahami karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan
sebutan guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang
mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara pelayanan ahli
bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan
pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor, namun sering
diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran. Apabila tidak
digariskan penegasan dan pencermatan yang benar, kerancuan seperti ini bisa
muncul kembali dari Permendiknas No. 22/2006, karena payung Standar Isi sebagai
dasar pengembangan KTSP pada dasarnya menegaskan konteks tugas dan ekspektasi
kinerja guru dan bukan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Perlu ditegaskan bahwa bimbingan dan konseling bukanlah
kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan mengajar yang layaknya
dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli
dalam konteks memandirikan peserta didik. (Naskah Akademik ABKIN, Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling
dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).

Gambar 1. Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal
Merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan menjadi ’Konselor.”
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah
satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong
belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003,
pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara
tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap
tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja,
dan setting pelayanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.
Dalam konteks tersebut, hasil studi lapangan (2007)
menunjukkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah sangat
dibutuhkan, karena banyaknya masalah peserta didik di Sekolah/Madrasah,
besarnya kebutuhan peserta didik akan pengarahan diri dalam memilih dan
mengambil keputusan, perlunya aturan yang memayungi pelayanan bimbingan dan konseling
di Sekolah/Madrasah, serta perbaikan tata kerja baik dalam aspek ketenagaan
maupun manajeme